Perlahan-lahan kakiku yang sudah lelah menyusuri selokan Mataram diiringi hujan gerimis siang itu. Sabtu 13.06 aku telah berdiri di tempat pemberhentian bis kota. Hari itu adalah jadwal aku pulang kampung dari kesibukan kuliah yang rutin aku lakukan dua minggu sekali. Gerimis berubah menjadi tetes air yang cukup membuat bajuku basah, pak sopir memberhentikan busnya di depan pintu masuk stasiun Tugu. Aku berlari menuju stasiun. Perjalanan pulangku pun dilanjutkan. Aku naik kreta ke stasiun Balapan Solo. Dari Solo aku langsung naik bus menuju Tawangmangu kota kecamatanku. Dari Tawangmangu aku harus naik ojek agar sampai di desa aku. Sekitar 4 jam berlalu aku sudah mulai memasuki gapura kampungku. Langkah-demi langkah aku berjalan menuju rumahku. Layaknya seorang artis tetangga-tetangga banyak yang menyapa. Maklum, aku adalah anak desa yang dapat merasakan bangku kuliah di Yogyakarta. Rumahku yang sederhana sudah mulai terlihat, aku semakin semangat melangkahkan kakiku. Semakin dekat mulai nampak seorang wanita berkerudung putih usang sedang duduk di kursi kayu kecil meghadap ke barat sambil memecah batu. Tak berapa lama terpancar sinar kebahagiaan dari wajah sayunya melihat anak laki-lakinya pulang. Segera ku ulur simpul senyum terindah yang hanya ku persembahkan untuk orang yang paling kucintai di dunia ini.
Wanita itu bagiku adalah kupu-kupu di tengah samudera. Kupu-kupu yang berjuang mencari daratan untuk mencapai sebuah tujuan mulia. Beliau adalah ibu dari lelaki muda ini. Saniyem adalah nama yang kakekku berikan pada beliau 41 tahun silam 2 Januari 1970. Beliau adalah Kartini bagi keluarganya. Beliau adalah ibu paling tangguh di dunia sepanjang masa. Kenapa hiperbola ini aku gambarkan pada beliau akan kita ketahui pada lanjutan cerita ini. Beliau bukan perempuan yang mengharumkan bangsa ini, beliau juga bukan aktivis yang berjuang untuk masyarakat, bukan ketua organisasi, bukan pula perempuan terkenal yang sering lalu-lalang di layar televisi. Beliau hanya seorang Ibu yang melarang anaknya bernuat jelek dan menyuruh anaknya berbuat kebaikan. Beliau hanya seorang Ibu yang berjuang dan berharap anak-anaknya dapat menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan agama suatu saat kelak.
Segera setelah itu kujabat tangannya. Tiba-tiba mata hatiku menangis karena yang kurasakan adalah tangan yang kasar berlapis tanda-tanda kerja keras. Akan tetapi wajahku berusaha menampakkan wajah segembira mungkin.
“Apa kabar nak ?†kata yang keluar pertama dari kedua bibir beliau.
Selanjutnya kami terlibat obrolan kecil membahas bagaimana kuliahku, bagaimana kesehatanku, bagaimana keadaan di sana. Hal yang sama juga aku tanyakan kepada Ibuku.
Kami adalah keluarga kecil yang bahagia. Bapakku seorang petani lahan kering yang berpenghasilan pas-pasan. Ibuku bekerja buruh di toko besi dan memecah batu pada sore harinya. Aku mempunyai seorang adik yang duduk di bangku kelas X SMA. Kedua orang tuaku bekerja keras untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya. Dalam cerita ini yang lebih aku angkat adalah Ibuku, dan apa saja yang berkaitan dengan perjuangan beliau.
Waktu sudah menunjukkan pukul 19.34 Aku dan Ibu baru saja melaksanakan ibadah bersama. Adikku sedang sibuk dengan PRnya sedangkan Bapak belum pulang. Tidak lepas dari tempat kami beribadah, rasa rinduku pada beliau mulai terobati dengan obrolan-obrolan ringan yang kembali terjadi di antara kami. Aku merasa sangat bahagia sekali. Setengah jam lewat obrolan kami semakin seru dan dengan bahasa Jawa beliau mulai bercerita pada masa-masa dimana aku masih kecil dan perjuangan beliau.
Beliau menceritakan bahwa, saat itu aku baru bisa berjalan. Bapak sedang merantau ke luar kota mencari nafkah. Harta yang kami punya Cuma seekor kambing betina dan anaknya yang masih kecil. Pada hari itu, sampai sore beliau belum mencarikan rumput untuk kambing kami padahal sore itu terjadi hujan deras disertai angin. Namun demi 2 ekor kambing yang kami punya beliau nekad menggendong aku untuk mencari rumput. Anak yang baru bisa berjalan beliau letakkan di teras balai desa sendirian. Sedangkan beliau sendiri mencari rumput di tengah sawah saat hujan deras disertai angin lebat, belum lagi petir yang menyambar-nyambar.
Cerita yang lain, saat itu kira-kira aku baru berusia 2 tahun. Pada masa kecil Ibu suka mengajak aku ke ladang. Ladang kami berjarak kira-kira 5 kilometer dari rumah melewati lembah dan beberapa bukit. Hingga pada suatu saat Aku dan Ibu pulang dari ladang sudah menjelang petang. Kami berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah. Setelah menyusuri semak dan menuruni lereng maka sampailah kami di tepi sungai. Tapi apa yang terjadi? di depan kami mengalir sungai yang sedang banjir mengalir sangat deras. Nampaknya terjadi hujan lebat di daerah hulu. Ibu yang menggendong aku mulai resah. Bersama aliran sungai terangkut batang-batang kayu menunjukkan betapa derasnya aliran sungai waktu itu. Hari semakin larut, jika mengambil jalan memutar maka harus kembali ke ladang sedangkan langit semakin gelap. Tidak mungkin jika kami harus menyusuri hutan pada langit yang sudah hitam. Jika menyeberang sungai, nyawa adalah taruhannya. Tapi akhirnya beliau membuat satu keputusan yang sangat beresiko. Beliau berfikir, seandainya kami kalah dengan arus maka kami akan mati berdua. Berbekal letak batu-batu yang sudah dihafal beliau segera memanggul aku di pundaknya. Beliau berdoa dan mulai melangkah. Sekuat tenaga beliau melawan arus setapak demi tapak menginjak batu. Air mata pun tak kuasa beliau bendung. Di tengah arus tersebut beliau menangis tersedu-sedu. Tuhan Maha Kuasa. Kami berhasil menuju tepi sungai seberang. Seketika beliau langsung berdo’a, semoga kejadian ini tidak akan pernah terulang lagi pada kami.
Lambat laun ternyata kejadian serupa masih menimpa Ibu, akan tetapi kejadian tersebut di alami Ibu bersama saudara sepupuku. Tuhan benar-benar Maha Kuasa. Beliau masih diselamatkan. Perjuangan beliau hanya untuk sesuap nasi harus berhadapan dengan cobaan yang besar. Tapi beliau tetap tegar tetap sabar dan tabah.
Mendengar cerita tersebut aku ingin sekali menangis, tapi aku tidak mau menunjukkan rasa tangis itu di depan Ibu. Kini Aku dan ibu bersandar di tembok meluruskan kaki menghadap ke utara masih di tempat kami beribadah tadi. Di bawah lampu remang Beliau melanjutkan cerita.
Juga saat aku masih kecil. Bapak masih di perantuan. Untuk menghidupi kebutuhan kami beliau menjadi buruh gendong. Saat itu beliau buruh gendong ketela dan harus mengajak aku yang baru bisa berjalan. Beliau bolak-balik naik turun lereng. Kata beliau, saat sedang membawa gendongannya aku ditaruh diatas gendongannya, sedang pada saat kembali aku dituntun beliau. Selain itu beliau juga bercerita saat itu beliau sedang mencari rumput dan aku digendongannya. Karena lereng yang licin kami berdua jatuh dari lereng tersebut, padahal sabit yang tajam sedang di tangan. Beliau menceritakan bahwa seketika itu aku yang kecil langsung pingsan dan wajah membiru. Untungnya sabit yang tajam tersebut tidak melukai kami. Karena takut dengan keadaanku beliau langsung membawaku pulang sambil menangis.
Tantangan maut yang terakhir mengancam beliau adalah saat aku kelas 3 SD, adikku masih kelas TK. Saat itu beliau sedang memetik cengkih sendirian di ladang. Beliau memanjat pohon cengkih yang kira-kira tingginya 8 meter. Hingga sampai pada bagian pucuk pohon terjadilah bencana menimpa beliau. Tangkai pohon yang beliau pijak patah dan beliau jatuh dari pohon cengkih setinggi 8 meter. Seketika beliau langsung memegangi tubuhnya yang sakit dan memeriksa wajahnya. Dari hidungnya keluar darah dan beliau langsung merasakan kesakitan pada beberapa bagian tubuhnya. Saat beliau mau berdiri, ternyata beliau tidak bisa. Karena di ladang sendirian tidak ada yang melihat kejadian tersebut dan tidak ada yang menolong beliau. Beliau mencoba berteriak minta tolong tapi tidak ada orang yang mendengar. Akhirnya beliau memutuskan merangkak menuju jalan raya yang kira-kira jaraknya 2 kilometer dari beliau jatuh. Sambil menahan sakit beliau merangkak perlahan-lahan. Sampai di jalan beliau menghentikan orang yang mengendarai sepeda motor menceritakan kejadian tersebut dan minta tolong mengantarkan ke rumah. Segera saja beliau dibawa ke rumah sakit oleh keluarga kami. Hasil dari pemeriksaan tulang pinggul beliau retak dan tulang di kaki ada yang mengalami gangguan.
Aku semakin sedih mendengar apa yang beliau ungakapkan. Cerita beliau dilanjutkan dengan bagaimana beliau melahirkanku, beliau mencucikan popokku, waktu muda beliau dan pengalaman pengalaman beliau yang lain. Beliau adalah wanita yang luar biasa. Beliau selalu mengajariku menyanyi, berhitung, membaca dan menulis. Saat ke ladang aku di gendongannya beliau selalu mengajari aku menyanyi dan berhitung. Karena Beliau aku sudah bisa berhitung 1-100 saat masuk TK, dan aku sudah bisa membaca dan menulis ejaan-ejaan sederhana. Beliau benar-benar wanita yang luar biasa. Demi keluarganya, membantu mencari nafkah meski banyak kesulitan menghadang bahkan maut menjadi sebuah ancaman.
Di saat aku sudah besar pun perjuangan beliau belum berakhir. Sekarang beliau bekerja di sebuah toko besi sebagai buruh. Beliau bekerja dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore. Gaji yang beliau terimapun pas-pasan. Beliau berkata kepadaku bahwa majikan beliau sering memarahi beliau tanpa alasan yang jelas. Tapi beliau tetap bertahan demi pendidikanku dan adikku. Di samping itu, tak jarang jika ada keseempatan beliau menjadi buruh gendong pasir di sungai. Dan tiap sore beliau memecah batu di depan rumah. Batu itu akan dibeli orang-orang yang akan membangun rumah, tepatnya dugunakan sebagai bahan cor. Tak jarang beliau memecah batu sampai larut malam. Dan pada malamnya beliau masih punya pekerjaan sampingan mengisi tanah diplastik-plastik untuk pembibitan cabe yang diusahakan bibi aku. Ini semua dilakukan oleh seorang wanita, seorang perempuan.
Meski keadaan kami demikian beliau tetap bekerja keras dengan sabar. Beliau bukan orang yang mudah putus asa. Beliau tidak mau mengeluh terhadap keadaan. Beliau selalu bersyukur apapun yang dikaruniakan Tuhan. Beliau mengatakan bahwa beliau akan bekerja mati-matian asal anak-anaknya mendapat pendidikan yang layak. Supaya di masa depananak-anaknya dapat menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan agama. Meski hanya seorang buruh beliau mempunyai pemikiran kedepan. Beliau tidak mau suatu saat kelak anak-anaknnya menjadi orang yang ketinggalan. Jika Kartini memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan, maka Ibuku memperjuangkan pendidikan bagi anak-anaknya.Yang pasti beliau adalah Kartini bagiku. Darah dan keringat benar-benar beliau cucurkan.
Setelah menceritakan segala sesuatunya tiba-tiba beliau berkata, “ Nak, Ibu minta maaf apabila selama menjadi Ibu kamu, Ibu tidak bisa memberikan yang terbaik. Tidak bisa memberikan apa yang kamu minta.†Aku langsung merasa jatuh dari langit, dadaku terguncang. Seketika aku beranjak ketempat tidur menahan air mata dengan memejamkannya. Saat aku tidur masih aku rasakan ada yang membawakan bantal dan selimut serta mengusap wajahku sambil mendoakan diriku. Sungguh kasih sayangnya takkan pernah tergantikan sampa kapanpun.
Hari selanjutnya diriku terbayang-bayang motivasi penuh untuk berusaha semaksimal mungkin dalam mewujudkan ekspektasi beliau. Aku harus bisa, orang tuaku sudah bekerja keras, maka aku harus berjuang lebih keras pula demi masa depanku. Aku harus menjadi anak yang berbakti. Aku harus menjadi manusia yang bermartabat dan bermanfaat bagi orang lain.
Hingga tiba waktu aku harus kembali ke Yogyakarta, ku persiapkan segala sesuatuku. Dan aku beranjak berangkat, sebelumnya aku berpamitan kepada Ibu, kembali ku jabat tangan kasar beliau. Dalam jabatan tangan yang erat beliau memberikan nasehat sebelum kepergianku.
“Nak, Ibu hanya bisa mengantarmu dengan do’a terbaik. Disana kamu kuliah yang sungguh-sungguh, cari teman-yang baik, cari lingkungan yang baik, teman yang jelek jangan di akrabi ! Agama dan imannya di jaga! Ibu tidak suka jika kamu menjadi orang yang pintar tapi lupa beribadah. Begitu pula ibu tidak suka kamu beribadah terus tanpa memikirkan hal lain. Ibu tidak menuntut kamu harus menjadi orang yang besar. Ibu tidak menuntut lebih. Yang Ibu harapkan kamu menjadi orang yang mau bekerja, mau berusaha, mempunyai akhlak yang baik dan berbakti pada orang tua. Hati-hati di jalan.â€
Dengan berat hati kulepas genggaman tangan beliau, beranjak kutinggalkan Ibu terbaik sepanjang masa, Kartini bagiku, Saniyem, kupu-kupu di tengah samudera.
Yang terakhir saya persembahkan lirik lagu Seraut Wajah dari Ebiet G Ade untuk seluruh Kartini-Kartini Indonesia.
Wajah yang selalu dilumuri senyum
legam tersengat terik matahari
Keperkasaannya tak memudar
terbaca dari garis-garis di dagu
Waktu telah menggilas semuanya
Ia tinggal punya jiwa
Pengorbanan yang tak sia-sia
untuk negeri yang dicintai, dikasihi
Tangan dan kaki rela kau serahkan
Darah, keringat rela kau cucurkan
Bukan hanya untuk ukir namamu
Ikhlas demi langit bumi
bersumpah mempertahankan setiap jengkal tanah
Wajah yang tak pernah mengeluh
Tegar dalam sikap sempurna,
pantang menyerah
Tangan dan kaki rela kau serahkan
Darah, keringat rela kau cucurkan
Bukan hanya untuk ukir namamu
Ikhlas demi langit bumi
bersumpah mempertahankan setiap jengkal tanah
Merah merdeka, putih merdeka, warna merdeka
NOTE :
Cerita yang saya tuliskan ini berdasarkan apa yang sebenarnya terjadi. Jika apa yang saya ceritakan terbukti tidak benar maka keikutsertaan saya dalam lomba ini dibatalkan. Semoga apa yang saya ceritakan benar-benar dapat memberikan inspirasi. Terimakasih banyak atas votenya.
Wanita itu bagiku adalah kupu-kupu di tengah samudera. Kupu-kupu yang berjuang mencari daratan untuk mencapai sebuah tujuan mulia. Beliau adalah ibu dari lelaki muda ini. Saniyem adalah nama yang kakekku berikan pada beliau 41 tahun silam 2 Januari 1970. Beliau adalah Kartini bagi keluarganya. Beliau adalah ibu paling tangguh di dunia sepanjang masa. Kenapa hiperbola ini aku gambarkan pada beliau akan kita ketahui pada lanjutan cerita ini. Beliau bukan perempuan yang mengharumkan bangsa ini, beliau juga bukan aktivis yang berjuang untuk masyarakat, bukan ketua organisasi, bukan pula perempuan terkenal yang sering lalu-lalang di layar televisi. Beliau hanya seorang Ibu yang melarang anaknya bernuat jelek dan menyuruh anaknya berbuat kebaikan. Beliau hanya seorang Ibu yang berjuang dan berharap anak-anaknya dapat menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan agama suatu saat kelak.
Segera setelah itu kujabat tangannya. Tiba-tiba mata hatiku menangis karena yang kurasakan adalah tangan yang kasar berlapis tanda-tanda kerja keras. Akan tetapi wajahku berusaha menampakkan wajah segembira mungkin.
“Apa kabar nak ?†kata yang keluar pertama dari kedua bibir beliau.
Selanjutnya kami terlibat obrolan kecil membahas bagaimana kuliahku, bagaimana kesehatanku, bagaimana keadaan di sana. Hal yang sama juga aku tanyakan kepada Ibuku.
Kami adalah keluarga kecil yang bahagia. Bapakku seorang petani lahan kering yang berpenghasilan pas-pasan. Ibuku bekerja buruh di toko besi dan memecah batu pada sore harinya. Aku mempunyai seorang adik yang duduk di bangku kelas X SMA. Kedua orang tuaku bekerja keras untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya. Dalam cerita ini yang lebih aku angkat adalah Ibuku, dan apa saja yang berkaitan dengan perjuangan beliau.
Waktu sudah menunjukkan pukul 19.34 Aku dan Ibu baru saja melaksanakan ibadah bersama. Adikku sedang sibuk dengan PRnya sedangkan Bapak belum pulang. Tidak lepas dari tempat kami beribadah, rasa rinduku pada beliau mulai terobati dengan obrolan-obrolan ringan yang kembali terjadi di antara kami. Aku merasa sangat bahagia sekali. Setengah jam lewat obrolan kami semakin seru dan dengan bahasa Jawa beliau mulai bercerita pada masa-masa dimana aku masih kecil dan perjuangan beliau.
Beliau menceritakan bahwa, saat itu aku baru bisa berjalan. Bapak sedang merantau ke luar kota mencari nafkah. Harta yang kami punya Cuma seekor kambing betina dan anaknya yang masih kecil. Pada hari itu, sampai sore beliau belum mencarikan rumput untuk kambing kami padahal sore itu terjadi hujan deras disertai angin. Namun demi 2 ekor kambing yang kami punya beliau nekad menggendong aku untuk mencari rumput. Anak yang baru bisa berjalan beliau letakkan di teras balai desa sendirian. Sedangkan beliau sendiri mencari rumput di tengah sawah saat hujan deras disertai angin lebat, belum lagi petir yang menyambar-nyambar.
Cerita yang lain, saat itu kira-kira aku baru berusia 2 tahun. Pada masa kecil Ibu suka mengajak aku ke ladang. Ladang kami berjarak kira-kira 5 kilometer dari rumah melewati lembah dan beberapa bukit. Hingga pada suatu saat Aku dan Ibu pulang dari ladang sudah menjelang petang. Kami berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah. Setelah menyusuri semak dan menuruni lereng maka sampailah kami di tepi sungai. Tapi apa yang terjadi? di depan kami mengalir sungai yang sedang banjir mengalir sangat deras. Nampaknya terjadi hujan lebat di daerah hulu. Ibu yang menggendong aku mulai resah. Bersama aliran sungai terangkut batang-batang kayu menunjukkan betapa derasnya aliran sungai waktu itu. Hari semakin larut, jika mengambil jalan memutar maka harus kembali ke ladang sedangkan langit semakin gelap. Tidak mungkin jika kami harus menyusuri hutan pada langit yang sudah hitam. Jika menyeberang sungai, nyawa adalah taruhannya. Tapi akhirnya beliau membuat satu keputusan yang sangat beresiko. Beliau berfikir, seandainya kami kalah dengan arus maka kami akan mati berdua. Berbekal letak batu-batu yang sudah dihafal beliau segera memanggul aku di pundaknya. Beliau berdoa dan mulai melangkah. Sekuat tenaga beliau melawan arus setapak demi tapak menginjak batu. Air mata pun tak kuasa beliau bendung. Di tengah arus tersebut beliau menangis tersedu-sedu. Tuhan Maha Kuasa. Kami berhasil menuju tepi sungai seberang. Seketika beliau langsung berdo’a, semoga kejadian ini tidak akan pernah terulang lagi pada kami.
Lambat laun ternyata kejadian serupa masih menimpa Ibu, akan tetapi kejadian tersebut di alami Ibu bersama saudara sepupuku. Tuhan benar-benar Maha Kuasa. Beliau masih diselamatkan. Perjuangan beliau hanya untuk sesuap nasi harus berhadapan dengan cobaan yang besar. Tapi beliau tetap tegar tetap sabar dan tabah.
Mendengar cerita tersebut aku ingin sekali menangis, tapi aku tidak mau menunjukkan rasa tangis itu di depan Ibu. Kini Aku dan ibu bersandar di tembok meluruskan kaki menghadap ke utara masih di tempat kami beribadah tadi. Di bawah lampu remang Beliau melanjutkan cerita.
Juga saat aku masih kecil. Bapak masih di perantuan. Untuk menghidupi kebutuhan kami beliau menjadi buruh gendong. Saat itu beliau buruh gendong ketela dan harus mengajak aku yang baru bisa berjalan. Beliau bolak-balik naik turun lereng. Kata beliau, saat sedang membawa gendongannya aku ditaruh diatas gendongannya, sedang pada saat kembali aku dituntun beliau. Selain itu beliau juga bercerita saat itu beliau sedang mencari rumput dan aku digendongannya. Karena lereng yang licin kami berdua jatuh dari lereng tersebut, padahal sabit yang tajam sedang di tangan. Beliau menceritakan bahwa seketika itu aku yang kecil langsung pingsan dan wajah membiru. Untungnya sabit yang tajam tersebut tidak melukai kami. Karena takut dengan keadaanku beliau langsung membawaku pulang sambil menangis.
Tantangan maut yang terakhir mengancam beliau adalah saat aku kelas 3 SD, adikku masih kelas TK. Saat itu beliau sedang memetik cengkih sendirian di ladang. Beliau memanjat pohon cengkih yang kira-kira tingginya 8 meter. Hingga sampai pada bagian pucuk pohon terjadilah bencana menimpa beliau. Tangkai pohon yang beliau pijak patah dan beliau jatuh dari pohon cengkih setinggi 8 meter. Seketika beliau langsung memegangi tubuhnya yang sakit dan memeriksa wajahnya. Dari hidungnya keluar darah dan beliau langsung merasakan kesakitan pada beberapa bagian tubuhnya. Saat beliau mau berdiri, ternyata beliau tidak bisa. Karena di ladang sendirian tidak ada yang melihat kejadian tersebut dan tidak ada yang menolong beliau. Beliau mencoba berteriak minta tolong tapi tidak ada orang yang mendengar. Akhirnya beliau memutuskan merangkak menuju jalan raya yang kira-kira jaraknya 2 kilometer dari beliau jatuh. Sambil menahan sakit beliau merangkak perlahan-lahan. Sampai di jalan beliau menghentikan orang yang mengendarai sepeda motor menceritakan kejadian tersebut dan minta tolong mengantarkan ke rumah. Segera saja beliau dibawa ke rumah sakit oleh keluarga kami. Hasil dari pemeriksaan tulang pinggul beliau retak dan tulang di kaki ada yang mengalami gangguan.
Aku semakin sedih mendengar apa yang beliau ungakapkan. Cerita beliau dilanjutkan dengan bagaimana beliau melahirkanku, beliau mencucikan popokku, waktu muda beliau dan pengalaman pengalaman beliau yang lain. Beliau adalah wanita yang luar biasa. Beliau selalu mengajariku menyanyi, berhitung, membaca dan menulis. Saat ke ladang aku di gendongannya beliau selalu mengajari aku menyanyi dan berhitung. Karena Beliau aku sudah bisa berhitung 1-100 saat masuk TK, dan aku sudah bisa membaca dan menulis ejaan-ejaan sederhana. Beliau benar-benar wanita yang luar biasa. Demi keluarganya, membantu mencari nafkah meski banyak kesulitan menghadang bahkan maut menjadi sebuah ancaman.
Di saat aku sudah besar pun perjuangan beliau belum berakhir. Sekarang beliau bekerja di sebuah toko besi sebagai buruh. Beliau bekerja dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore. Gaji yang beliau terimapun pas-pasan. Beliau berkata kepadaku bahwa majikan beliau sering memarahi beliau tanpa alasan yang jelas. Tapi beliau tetap bertahan demi pendidikanku dan adikku. Di samping itu, tak jarang jika ada keseempatan beliau menjadi buruh gendong pasir di sungai. Dan tiap sore beliau memecah batu di depan rumah. Batu itu akan dibeli orang-orang yang akan membangun rumah, tepatnya dugunakan sebagai bahan cor. Tak jarang beliau memecah batu sampai larut malam. Dan pada malamnya beliau masih punya pekerjaan sampingan mengisi tanah diplastik-plastik untuk pembibitan cabe yang diusahakan bibi aku. Ini semua dilakukan oleh seorang wanita, seorang perempuan.
Meski keadaan kami demikian beliau tetap bekerja keras dengan sabar. Beliau bukan orang yang mudah putus asa. Beliau tidak mau mengeluh terhadap keadaan. Beliau selalu bersyukur apapun yang dikaruniakan Tuhan. Beliau mengatakan bahwa beliau akan bekerja mati-matian asal anak-anaknya mendapat pendidikan yang layak. Supaya di masa depananak-anaknya dapat menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan agama. Meski hanya seorang buruh beliau mempunyai pemikiran kedepan. Beliau tidak mau suatu saat kelak anak-anaknnya menjadi orang yang ketinggalan. Jika Kartini memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan, maka Ibuku memperjuangkan pendidikan bagi anak-anaknya.Yang pasti beliau adalah Kartini bagiku. Darah dan keringat benar-benar beliau cucurkan.
Setelah menceritakan segala sesuatunya tiba-tiba beliau berkata, “ Nak, Ibu minta maaf apabila selama menjadi Ibu kamu, Ibu tidak bisa memberikan yang terbaik. Tidak bisa memberikan apa yang kamu minta.†Aku langsung merasa jatuh dari langit, dadaku terguncang. Seketika aku beranjak ketempat tidur menahan air mata dengan memejamkannya. Saat aku tidur masih aku rasakan ada yang membawakan bantal dan selimut serta mengusap wajahku sambil mendoakan diriku. Sungguh kasih sayangnya takkan pernah tergantikan sampa kapanpun.
Hari selanjutnya diriku terbayang-bayang motivasi penuh untuk berusaha semaksimal mungkin dalam mewujudkan ekspektasi beliau. Aku harus bisa, orang tuaku sudah bekerja keras, maka aku harus berjuang lebih keras pula demi masa depanku. Aku harus menjadi anak yang berbakti. Aku harus menjadi manusia yang bermartabat dan bermanfaat bagi orang lain.
Hingga tiba waktu aku harus kembali ke Yogyakarta, ku persiapkan segala sesuatuku. Dan aku beranjak berangkat, sebelumnya aku berpamitan kepada Ibu, kembali ku jabat tangan kasar beliau. Dalam jabatan tangan yang erat beliau memberikan nasehat sebelum kepergianku.
“Nak, Ibu hanya bisa mengantarmu dengan do’a terbaik. Disana kamu kuliah yang sungguh-sungguh, cari teman-yang baik, cari lingkungan yang baik, teman yang jelek jangan di akrabi ! Agama dan imannya di jaga! Ibu tidak suka jika kamu menjadi orang yang pintar tapi lupa beribadah. Begitu pula ibu tidak suka kamu beribadah terus tanpa memikirkan hal lain. Ibu tidak menuntut kamu harus menjadi orang yang besar. Ibu tidak menuntut lebih. Yang Ibu harapkan kamu menjadi orang yang mau bekerja, mau berusaha, mempunyai akhlak yang baik dan berbakti pada orang tua. Hati-hati di jalan.â€
Dengan berat hati kulepas genggaman tangan beliau, beranjak kutinggalkan Ibu terbaik sepanjang masa, Kartini bagiku, Saniyem, kupu-kupu di tengah samudera.
Yang terakhir saya persembahkan lirik lagu Seraut Wajah dari Ebiet G Ade untuk seluruh Kartini-Kartini Indonesia.
Wajah yang selalu dilumuri senyum
legam tersengat terik matahari
Keperkasaannya tak memudar
terbaca dari garis-garis di dagu
Waktu telah menggilas semuanya
Ia tinggal punya jiwa
Pengorbanan yang tak sia-sia
untuk negeri yang dicintai, dikasihi
Tangan dan kaki rela kau serahkan
Darah, keringat rela kau cucurkan
Bukan hanya untuk ukir namamu
Ikhlas demi langit bumi
bersumpah mempertahankan setiap jengkal tanah
Wajah yang tak pernah mengeluh
Tegar dalam sikap sempurna,
pantang menyerah
Tangan dan kaki rela kau serahkan
Darah, keringat rela kau cucurkan
Bukan hanya untuk ukir namamu
Ikhlas demi langit bumi
bersumpah mempertahankan setiap jengkal tanah
Merah merdeka, putih merdeka, warna merdeka
NOTE :
Cerita yang saya tuliskan ini berdasarkan apa yang sebenarnya terjadi. Jika apa yang saya ceritakan terbukti tidak benar maka keikutsertaan saya dalam lomba ini dibatalkan. Semoga apa yang saya ceritakan benar-benar dapat memberikan inspirasi. Terimakasih banyak atas votenya.
0 Komentar:
Posting Komentar